Meraba Fana

Nidamia
7 min readJan 18, 2022
https://www.shutterstock.com/

Aku harus meraih benda apapun dengan sensasi rasa yang berbeda. Bisa meraba tapi tak bisa melihat rupanya. Aku merasa tak berdaya, tak berguna. Semenjak kecelakaan maut itu, aku tak bisa melihat dunia lagi dengan kedua bola mata. Ini sungguh sangat menyiksa.

Hari-hariku kini lebih banyak berada dalam kamar. Aku masih belum bisa menerima kondisiku sekarang. Bibi selalu membujukku untuk keluar kamar, bahkan sampai bisa keluar rumah untuk menyegarkan pikiran. Tetapi aku tetap tidak mau. Buat apa keluar sana kalau tidak bisa menikmati rupanya lagi? “Mia, yuk kita ke rumah nenek. Kita habiskan waktu bulan Ramadhan nanti di sana. Suasananya adem sekali. Kamu pasti senang jika berada di sana. Mungkin kamu jadi betah gak mau pulang, hehe..”, ujar ibuku dengan nada gembira dan candaan. “Gak, bu. Aku ingin di sini saja. Buat apa aku keluar, sia-sia saja aku tidak bisa melihat apapun. Mengambil minum untuk diri sendiri saja sulit! Aku tidak mau!”, balasku dengan penuh emosi marah. “Mia sayang.. kita coba ya sehari dulu saja.. siapa tahu kamu suka dengan nuansa di sana..”, ucap ibu dengan nada bujuk rayu. “Hmm, baiklah, aku coba satu hari dulu.” Akhirnya aku pun luruh dengan bujukan ibu. Ibu memang pandai merayuku dengan sikapnya yang lembut. Ibu pun langsung memelukku, tanda hatinya senang dengan keputusanku yang sejalan dengan keinginannya. Tapi sayang, aku tidak bisa melihat raut wajah bahagianya ibu lagi.

Bulan penuh berkah itu pun tiba. Bibi dan ibu sudah merapihkan keperluanku ke dalam koper dan tas lainnya. Aku tidak tahu pakaian milikku mana saja yang mereka pilih. Tapi aku yakin, ibuku pasti memilihkan pakaian dan beberapa benda yang aku sukai. “Alhamdulillah, sekarang saatnya kita berangkat. Ibu yakin sekali pasti kamu sangat senang dengan suasana di rumah nenek..”, ucap ibu dengan riang. Aku hanya merespons dengan senyuman. Aku sebenarnya tidak mau. Tapi aku juga tidak mau membuat ibu bersedih. Aku terpaksa menyetujuinya. Sampailah aku masuk ke dalam mobil. Aku duduk di jok depan. Ibuku memasangkan sabuk pengaman. Kuraba pula sabuk itu dari ujung ke ujung. Dahulu aku paling malas menggunakannya. Tapi sekarang aku sadar betapa pentingnya sabuk pengaman, apalagi bagi penderita tuna netra sepertiku. Ibu dan bibi duduk di jok tengah. Semua barang disimpan di jok belakang. Setelah semua siap, kami berangkat.

Akhirnya tibalah kami di rumah nenek. Benar kata ibu, suasana di sini begitu adem, jauh dari suara bising kendaraan. Ini seperti di pedesaan, udaranya segar, sejuk, begitu damai rasanya. Pak supir membunyikan klakson mobil dan suara pagar bergeser pun terdengar setelahnya. Kemudian munculah suara seperti seorang wanita paruh baya yang begitu riangnya. Ya, siapa lagi kalau bukan nenekku. “Alhamdulillah sudah datang.. duh nenek tunggu kok lama sekali..” “Iya nek, jalanan macet sekali tadi, maklum udah masuk waktu liburan..”, jawab pak supir dengan nada yang begitu terdengar ramah. Aku dan ibu turun lebih dulu dan langsung melangkah masuk menuju rumah nenek, sedangkan bibi dan pak supir sibuk mengangkat barang bawaan kami. Aku dituntun ibuku sampai duduk di sofa yang begitu empuk. Aku raba kain yang menutupi sofa itu hingga beberapa bantal di atasnya pun turut aku raba dan peluk karena begitu lembut dan empuk. Kemudian nenekku menawariku beberapa pilihan minuman untuk disuguhkan kepadaku. Aku pilih coklat panas saja karena disamping rasanya lezat, aku merasa kedinginan di sini sehingga butuh asupan yang panas atau hangat untuk menyeimbangkan suhu tubuhku. Ibuku tiba-tiba mengangkat tanganku dan badanku pun turut terangkat juga. Ia menginstruksikan bahwa aku harus mengikuti langkahnya. Aku tidak tahu akan dibawa ke mana, tapi ibu bilang tempat itu akan menjadi tempat ternyaman bagiku. Lalu sampailah kami memasuki sebuah ruangan dan aku langsung duduk di atas kasur yang begitu empuk. Ternyata aku masuk ke dalam sebuah kamar yang dulunya adalah kamar ibuku sewaktu kecil hingga menginjak usia dewasa awal. “Sekarang kamar ini menjadi milikmu..”, ucap ibu. Aku hanya tersenyum. Setelah itu ibuku menuntunku melakukan orientasi kamar ini. Kuraba semua benda yang ada di sini, dari mulai membuka pintu kamar, meraba meja belajar, lemari, menginjak keset, dan yang paling utama aku harus meraba semua sudut dinding kamar agar kemampuan spasialku dalam membayangkan bentuk kamar ini jauh lebih baik. Begitu juga terhadap ruangan lainnya. Seluruh rumah ini harus aku raba, dari mulai pagar utama hingga taman belakang. Memang cukup sulit dan lelah sekali melakukannya, namun aku harus paksakan karena aku ingin bisa jalan mandiri tanpa selalu bergantung dituntun orang lain.

Waktu malam pun tiba. Suara shalawat dari masjid dekat rumah nenek terdengar cukup keras dan begitu merdu. Nenek bilang itu adalah salah satu tradisi di desa ini ketika menyambut malam pertama bulan Ramadhan. Selama ini aku tidak begitu peduli dengan suara shalawat dari masjid di dekat rumahku, namun kali ini sangat berbeda rasanya. Telingaku seakan langsung terpusat pada suara itu dan perlahan air mataku jatuh. Entah sensasi rasa apa ini, aku bingung. Baru kali ini aku merasakan betapa suara shalawat itu sangat menyentuh hatiku. Ibuku langsung menuntunku ke kamar. Tapi aku bilang aku mau jalan sendiri. Ibuku melepaskan genggamannya memang, tapi tetap siaga disampingku. Aku merasakan sekali hawa tubuhnya sehingga aku tahu disampingku masih ada seseorang. Aku pun jalan perlahan, bisa dibilang cukup lambat. Maklum, baru belajar orientasi medan ruangan baru sehingga masih sangat berhati-hati. Ibuku terus siaga, memberi instruksi jika langkahku salah. Akhirnya sampailah pada pintu kamarku, kubuka pintunya dan aku langsung melangkah masuk beberapa langkah sesuai dengan yang sudah kupelajari di orientasi kamar sebelumnya. Perlahan kuraba kasurnya, kucari selimutnya, kuangkat kedua kakiku lalu masuk ke dalam selimut dengan perlahan, kemudian kepalaku pun kuturunkan sampai mengenai bantal yang begitu empuk. Kini aku tidak perlu susah payah memejamkan mata karena mataku sudah terpejam untuk selamanya.

Waktu sahur pun tiba. Ibuku bergegas membangunkanku dengan menepuk badanku. Aku pun akhirnya terbangun dan merubah posisi badan menjadi duduk. Setelah kesadaranku cukup penuh, aku keluarkan kedua kakiku dari selimut lalu memakai sepasang sendal dan ibuku pun lanjut menuntunku menuju ruang makan. Setelah sampai, aku langsung dituntun untuk duduk di kursi. Dihadapanku ada meja makan yang di atasnya penuh dengan makanan. Aku hanya bisa menghirup aromanya. Piring makanku sudah terisi berbagai macam makanan. Ibuku sudah menyiapkannya agar aku tidak perlu lagi mengambilnya sendiri. Aku cari sendok di sebelah kanan piring dan garpu di sebelah kiri piring. Setelah berhasil kugenggam keduanya lalu kugunakan untuk makan. Biasanya aku makan dengan lahap dan cepat, namun sekarang sebaliknya, begitu kurang lahap dan lambat. Karena khawatir makanan tidak bisa habis sebelum waktu imsak tiba, akhirnya ibuku membantuku dengan menyuapiku. Setelah beres makan, aku coba meraba meja dan mencari gelas minumku yang sudah berisi air mineral oleh ibuku. Letaknya berada di sebelah kanan piring. Kuangkat gelasnya dengan perlahan hingga menyentuh bibirku. Ujung gelas terangkat dan air pun mengalir masuk menuju kerongkongan. Begitu menyegarkan.

Hari-hariku di sini begitu menyenangkan. Aku bisa sering mendengar radio dari radio lama nenekku yang antik. Aku bisa bermain piano nenek dengan penuh penghayatan. Tentu saja karena indera pendengaranku menjadi lebih sensitif sekarang. Sampai suatu ketika ibuku mengabari bahwa sebentar lagi aku akan memiliki sebuah benda yang sangat bernilai sekali bagi hidupku. Aku penasaran sebenarnya benda itu apa? Tapi ibuku tidak langsung memberitahuku, katanya biar menjadi kejutan. Akhirnya benda yang dinanti pun tiba. Ibuku langsung memberikan sebuah kotak yang cukup besar di atas kedua pahaku. “Ini apa, bu?”, “Ini kejutan yang ibu maksud, bukalah..”. Setelah dibuka, kuraba isinya, ternyata itu adalah Al-Qur’an Braile! Aku langsung menangis. Aku merasa sudah tidak berkeinginan lagi untuk membaca kitab suci itu. Aku masih kesal pada Tuhan atas takdir yang aku terima ini. Lalu ibuku memelukku dengan erat dan berusaha menenangkanku. Ibuku bilang aku bisa mulai membacanya selepas shalat di setiap waktu. Aku turuti apa yang ibu katakan. Dan pada waktunya aku mulai mencoba membukanya. Jemari tanganku pun mulai meraba bagian kertas yang timbul itu dengan perlahan. Ibuku langsung mengontrol jemariku agar sesuai dengan darimana memulainya. Ibuku ternyata belajar huruf braile secara otodidak demi aku. Aku dituntun dengan sangat sabar agar aku bisa pandai membaca setiap hurufnya yang rumit itu. Aku pun kembali menangis tersedu-sedu.

Waktu shalat tarawih pun tiba. Kami pun bergegas beranjak pergi meninggalkan rumah menuju masjid yang dekat dengan rumah nenek. Ibuku tentu terus siaga menuntunku dengan sabar sampai ketika wudhu pun ibu membantu membasuhkan jika aku keliru dalam mengerjakannya. Akhirnya masuklah ke masjid dan ibuku mengatur posisi tempat shalatku dengan menggelarkan sejadahku dan memakaikan mukena untukku. Aku yakin sekali banyak yang memerhatikanku. Buktinya ketika kami datang, suara berisik anak-anak dan ibu-ibu yang mengobrol serempak hening seketika. Mungkin mereka heran melihat seorang gadis remaja yang buta dan berkacamata hitam masuk ke dalam masjid untuk ikut shalat tarawih. Perasaanku campur aduk kala itu, antara sedih, geram, dan mencoba tidak peduli. Tapi aku lebih memikirkan perasaan ibuku ketika dia sendiri yang melihat langsung perilaku masyarakat disekitarnya ketika menuntunku sampai ke sini, mungkin sama sepertiku. Tapi karena ibuku pandai mengelola perasaannya, jadi aku yakin ibuku sangat bijaksana dalam menyikapi perilaku semua orang. Adzan dan komat pun telah berkumandang. Kuresapi setiap kalimatnya yang terasa menenangkan, namun nyatanya lebih menenangkan mendengar lantunan tilawah qur’an yang sangat merdu dari mulut ibuku sendiri. Imam pun telah menginstruksikan semua jama’ah untuk menonaktifkan telepon seluler dan mengkondisikan anak-anak supaya tidak berisik karena dapat mengganggu ke-khusyuk-an dalam melaksanakan shalat tarawih. Kemudian sang imam pun mengucapkan takbir dan shalat isya pun dimulai. Aku pun mengangkat kedua tanganku dengan perlahan. Kucoba resapi suara imamnya hingga attahiyat akhir dan salam. Setelah itu dilanjut dengan ceramah oleh khatib yang sekaligus merangkap sebagai imam shalat. Sang Imam berceramah dengan bahasa yang mudah dimengerti. Kemudian aku tersentak dengan ucapan sang imam, “… Bahwa sesungguhnya dunia ini adalah fana, tak abadi. Segalanya akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat nanti. Seluruh tubuh kita akan ditanya tentang apa yang sudah dilakukannya selama di dunia. Namun beruntunglah bagi ia yang memiliki keterbatasan fisik atau berkebutuhan khusus. Karena hisab (perhitungan) amal perbuatannya akan lebih sedikit dibandingkan ia yang memiliki kesempurnaan fisik yang maksimal…” Seketika aku langsung tersadar, barangkali Tuhan ingin agar amal perbuatanku yang dihisab nanti, terutama dari indera penglihatanku, tidak begitu banyak dihisabnya. Terhitung sejak aku lahir sampai kecelakaan maut itu saja amal perbuatan melalui mataku dihisab. Bayangkan jika dibandingkan dengan manusia lainnya yang masih diberi kenikmatan melihat sampai akhir hayat, tentu aku paling sedikit. Kemudian tentang dunia ini adalah fana, aku pun kembali tersadar bahwa selama aku hidup di dunia, aku hanya meraba sesuatu yang fana. Jadi, untuk apa aku menyesali jika yang aku raba selama ini tak abadi? Akhirnya aku terima takdirku ini. Sabar dan syukur adalah kunci. Tuhan.. Terima kasih banyak! Aku berjanji tidak akan mengeluh lagi.

Selesai

Cerpen karyaku ini sebelumnya dipublikasikan di https://www.tumblr.com. pada tanggal 31 Maret 2019, lalu ku ingin dipublikasikan juga di sini :)

--

--

Nidamia

passionate in social psychology, sustainability, book, pokémon, nature, music, astro, techno & art. // about.me/nida.damia // verba volant, scripta manent 🌿